Senin, 21 Desember 2009

OBSERVASI: BAGIAN DARI KEMISKINAN


Apakah anda tahu apa yang dilakukan oleh seseorang ketika ia tidak memiliki pekerjaan? Pasti mereka yang tidak mempunyai pekerjaan akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan pekerjaan. Misalnya mereka dapat berwirausaha membuka lapangan pekerjaan baru, mereka yang punya keahlian bisa melatih keahliannya dan mengembangkannya menjadi suatu pekerjaannya yang menjanjikan. Tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak memiki modal dan memiliki keahlian? Anda pastinya tau apa yang sering mereka lakukan, mengemis, mengamen, dan masih banyak lagi . Mereka akan mengerjakan pekerjaan apapun selagi mereka mendapatkan uang yang halal. Tetapi apakah anda tau apa yang mereka rasakan, yang mereka pikirkan dan bagaimana mereka mengatur hidupnya? Untuk mengetahuinya kami melakukan observasi ke jalan.

Sampel yang di gunakan dalam observasi terhadap penyebab atau alasan para pemulung dan pengamen menjalankan profesinya adalah ibu-ibu, bapak-bapak, dan para anak-anak. Pengambilan sampel kami lakukan secara natural tanpa ada rekayasa, mengapa kami katakan secara natural? Karena kami melakukan wawancara secara langsung kepada sampel di tempat mereka melakukan profesinya. Hal ini dilakukan karena dengan melakukan observasi ke lokasi kami dapat mengetahui dan melihat bagaimana cara mereka bekerja.

Kami bertemu dengan anak laki- laki yang sedang memulung di pinggir jalan ruko di Galaxi. Anak itu bernama Marwan (11), dengan membawa karung (untuk mengumpulkan barang bekas) ia pun menuju tempat kami singgah dan ia bersedia kami wawancara. Dengan kasat mata mungkin semua orang menilai bahwa “pemulung” tidak bersekolah dan ada yang menilai mereka memulung karena malas mencari pekerjaan yang lebih layak. Tetapi tidak untuk Marwan anak ke 1 dari 2 bersaudara ini, ia bekerja untuk membayar uang sekolahnya sendiri karena ayahnya juga berprofesi sebagai pemulung dan ibunya dirumah bersama adiknya yang masih kecil. Sama halnya saat kami mewawancara 2 anak bersaudara Rossa (12) dan Hassan (9 ) mereka bekerja untuk biaya sekolah. “aku ngumpulin barang- barang selama 1 bulan trus di gabung sama barang- barang yang di kumpulin bapak, trus bapak yang nukerin ke tengkulak. Kira- kira dapet uang Rp. 50.000” jelas Marwan. Sudah bisa di bayangkan mereka bekerja setiap hari dari pagi sampai malam berkeliling dari jalan ke jalan mencari barang-barang bekas untuk menunggu uang Rp. 50.000 bulan. Jika mereka memiliki keahlian atau pun kemauan lebih mereka bisa mendapatkan sesuatu yang sama dengan orang yang kerja di kantoran atau yang berwirausaha, menunggu hasil kerja pada akhir bulan dan jumlah penghasilan lebih besar.

Mayoritas anak yang memulung seperti mereka lebih menghargai apa yang mereka perjuangkan, dan saat kami tanya apa cita- cita mereka menjawab dengan semangat “aku mau jadi polisi ka” kata Marwan dan Rossa “aku mau jadi guru”. Rasa kagum pada mereka saat kami bertanya bagaimana mengatur waktu antara pekerjaan rumah (PR) dengan bekerja dan bagaimana prestasi di kelas, “kalo saya ngerjain PR malem- malem atau gak kalo PR-nya gampang saya kerjain langsung di sekolah biar pulang sekolah langsung kerja, kalo rengking kemaren dapet rangking 2 ka” ucap Rossa.

Walau sekolah sambil mencari uang mereka tidak meninggalkan tugasnya sebagai siswa/i. Lain halnya saat kami bertemu 2 pengamen yang bisa di katakan beranjak menjadi seorang remaja bernama Rammi (12) dan Rudi (12) mereka terakhir sekolah saat masih duduk di kelas 4 SD. Anak ini mulai mengamen dari Villa Pekayon dan kami bertemu di depan komplek Kemang Pratama. Demi uang Rp.30.000/hari mereka mengikhlaskan putus sekolah, dan saat kami tanya apa ini keputusan kalian? Mereka menjawab “ia ka, abis kalo gak ngamen makan pake apa? Uang-nya juga di kasihin ke ibu, kan ibu jualan sayur ya itung-itung bantu ibu” ujar Rudi. Mereka mengaku senang mengamen dan yang paling memprihatinkan mereka tidak ada keinginan tuk kembali bersekolah karena merasa sudah bisa mencari uang sendiri walau hasilnya tidak sama bila mereka sekolah hingga tamat minimal lulus SMA. Bahkan saat di tanya apa cita- citanya mereka menjawab hampir bersamaan “apa ya!” dan kami memberikan gambaran “kalian bisa main alat musik kepikiran gak jadi artis kaya artis- artis?” mereka hanya senyum kecil seakan- akan mereka tidak memiliki gambaran hidup di masa depan. Padahal jika mereka memiliki keinginan untuk sukses contohnya mereka ingin menjadi pemain band seperti yang mereka lihat banyak pemain band yang memulainya kariernya dari mengamen, tetapi sayang mereka tidak punya gambaran tentang apa yang akan mereka lakukan setelah mengemen. Apakah mereka akan mengemen terus sampai tua? Apakah mereka mendapat nasihat atau cerita orang tua tentang masa depan atau kehidupannya kelak?

Orang tua mereka sesungguhnya menginginkan anak- anaknya sekolah setinggi- tingginya, tapi apa boleh buat walau banyak orang yang mengatakan “udah nasib hidup seperti ini jadi harus terima”. Sesungguhnya jika mereka mempunyai usaha atau kemauan untuk menjadi lebih baik pastinya banyak jalan menjadi orang yang berhasil atau lebih baik. Karena Tuhan hanya memberikan kesempatan hidup, akal pikiran, rezeki, dan masih banyak lagi yang Tuhan berikan kepada umatnya tetapi satu hal yang dapat di ubah oleh manusia yaitu bagaimana manusia itu sendiri dapat menghormati, menikmati, dan mensyukuri apa yang telah di karuniakan kepadanya dengan cara membuat sesuatu di dalam hidupnya menjadi berarti.

Seperti Pak Tamad (81), kami bertemu di salah satu perumahan Pekayon. Belliau sedang mengambil barang-barang yang sudah tidak di pakai, lebih tepatnya sampah. Kakek tua yang sudah rentan dan pendengarannya sudah memburuk sedang menarik gerobaknya, dengan semangat dan memiliki banyak harapan kehidupannya dapat berubah. Dan kami sangat beruntung dapat bertemu dengan Pak Tamad, tanpa di sangka sebelum menjalani profesi sebagai pemulung ternyata Pak Tamad adalah “seorang pejuang '45” hal ini dapat di buktikan saat Pak Tamad memperlihatkan kartu anggotanya saat menjabat. Sangat memprihatinkan, di masa tua sesorang yang telah memperjuangkan Negeri kita berakhir menjadi pemulung. “yah neng dari pemerintah cuma dapet Rp.300.000,-/ bulan, 100rb buat sewa rumah, belom buat anak, belom lagi kalo cucu lagi maen kerumah minta jajan” ucap Pak Tamad.

Secara naluri kami sebagai seorang anak meresa sangat sedih mengapa anak mereka tidak membantu orang tuanya yang sudah rentan, bahkan tutur pak Tamad anaknya masih sering merengek minta sesuatu contohnya anak yang paling muda berumur 35 tahun meminta orang tuanya tuk membelikan motor untuk dirinya. Untuk memberikan kesenangan kepada seorang anak seorang ayah akan melakukan apapun demikian dengan Pak Tamad, beliau ikhlas menjual tanah yang ia miliki hasil dari jerih payah-nya saat masih menjadi pejuang di zaman perang. Dan dengan suara yang sedikit melemah Pak Tamad berkata “gimana ya neng anak tu titipan tuhan jd apa yang di titipkan harus di kembalikan dan harus di pertanggung jawabkan nantinya, makanya bapak ikhlas kerja kaya gini. Nanti neng kalo udah jadi ibu juga bakal memberikan yang terbaik untuk anaknya.”. Mungkin pepatah yang berbunyi “kasih ibu sepanjang zaman, kasih anak sepanjang jalan”.

Banyak hal yang bisa ambil nilai yang terbaik dari kehidupan orang lain. Rasa malu, minder dan lain- lain pasti mereka temukan atau rasakan dalam perjalanan hidupnya. Tapi apa boleh buat, jalan itu yang dapat mereka lakukan berprofesi sebagai pengamen dan pemulung. Bagi mereka selagi uang itu halal dan bisa mendapatkan makan mereka sudah sangat bersyukur atas apa yang sudah mereka dapat. Karena dengan bersyukur atas apa yang telah mereka dapat adalah satu cara mendekatkan diri pada tuhan dan selalu berusaha merubah hidup menjadi lebih baik.

Dengan segala harapan mereka ingin selalu di hargai banyak orang, terkadang banyak bantuan pemerintah yang amat banyak di gembar gemborkan tetapi mereka tidak pernah mendapatkannya. Seperti ibu Naimah, ibu dari 4 anak ini tidak pernah mendapatkan BLT di desanya. “saya gak dapet BLT walaupun nama saya udah kedaftar di kampung saya. Waktu pulang kampung saya minta sama pak RT bareng sama warga yang lain sampe pada marah- marah tetep aja gak di kasih. Tapi saya menyesalkan atas sikap pemerintah yang tidak memperhatikan rakyat kecil. Mereka malah memperhatikan orang- orang yang punya tanah berhektar- hektar dan punya motor yang banyak”. Ibu Naimah mempunyai harapan untuk membuka usaha sendiri seperti membuka warung yang ingin dia kelola sendiri. Tetapi karena kesulitan ekonomi kesempatan itu tidak berpihak padanya. Seandainya Ibu Naimah di berikan modal untuk membuka usaha, ibu Naimah memillih membuka warung kebutuhan rumah tangga dan merubah nasib hidupnya yang seperti ini menjadi lebih baik.

Sedangkan dalam kehidupan sosialnya tidak jauh beda dengan apa yang kita kerjakan sehari- hari. Mereka sering berkumpul antar tetangga dan mereka saling membantu antar sesama, “ kalo sama tetangga mah biasa aj, kan dilingkungan rumah kerjaannya sama kalo g mulung, ngamen”, ujar bu Naimah. Yang membuat kita dengan mereka berbeda hanya lah gaya hidupnya saja, mereka bekerja setiap hari jika mereka tidak sedang tidak ingin mereka bisa hanya berdiam diri di rumah tetepi berbeda dengan bapak ibu kita, mereka harus bekerja setiah hari sesuai jadwal. Tetapi dalam kehidupan yang layak semua yang dilakukan masih dalam batas wajar. Mereka bersosialisasi dan bertetengga.


Demikian observasi yang saya lakukan bersama teman satu kelompok dengan saya. Tidak ada maksud menyindir atau menyinggung Silakan menggeluarkan pendapat dan komentari. Terimakasih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar