Senin, 16 Mei 2011

STRESS MEMPENGARUHI LINGKUNGAN

A. Definisi Stress
Istilah stres ditemukan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunaan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikoogis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut.
Stress adalah pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya ketidak seimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang akibat dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain (Szilagyi, 2000). Stress biasanya dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Sering dikira disebabkan oleh sesuatu yang buruk, dan disebut sebagai distress. Tetapi ada juga stress syang positif, yang disebabkan oleh sesuatu yang baik, misal dipromosikan untuk kenaikan pangkat dengan diberikan pekerjaan di tempat lain.Gibson, Ivancevich dan Donnely (1996) mendefinisikan stress sebagai suatu tanggapan penyesuaian, diperantarai oleh perbedaan- perbedaan individu dan atau proses psikologis, akibat dari setiap tindakan lingkungan, situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang. Definisi tersebut menggambarkan stress sedikit lebih negatif, sedangkan menurut pakar stress, Dr. Hans Selye,memperkenalkan stress sebagai suatu rangsangan dalam pengertian posisif,disebut sebagai Eutress. Eustress membuat individu mampu beradaptasi terhadap lingkungan dan menyebabkan terjadinya perkembangan ke arahyang lebih baik. Eutress diperlukan dalam hidup.
Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan kerena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Sedangkan menurut Korchin (1976) keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Stres tidak hanya kondisi yang menekan seseorang ataupun keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan tadi, akan tetapi stres adalah keterkaitan antara ketiganya (Prawitasari, 1989). Karena banyaknya definisi mengenai stres, maka Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu :
1. Stimulus
Keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor. Beberapa ahli yang menganut pendekatan ini mengkategorikan stresor menjadi tiga :
a. Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado atau gempa bumi.
b. Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai.
c. Keadaan kronis, misalnya hidup dalam kondisi sesak atau bising.
2. Respon
Respon adalah reaksi sesorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis.
a. Komponen psikologis, seperti perilaku, pola pikir dan emosi
b. Komponen fisiologis, seperti detak jantung, mulut yang mongering (sariawan), keringat dan sakit perut.
Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan.
3. Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stesor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antar manusia dengan lingkungan, yang didalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.

B. Jenis Stress
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
Kaitan Stres dengan Psikologi Lingkungan
Ketika tidak mengalami stres, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam keadaan seperti itu, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stres. Bahkan suatu stres terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ada waktu-waktu tertentu, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di lain pihak, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium yang bergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Hal lain yang belum dibahas adalah elemen-elemen lingkungan yang dapat mempengaruhi proses terjadinya disekuilibrium maupun ekuilibrium dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Dalam hal ini stres bisa terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stres sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya. Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan, dan seterusnya (Heimstra & McFarling, 1978).
Dalam konteks lingkungan binaan, maka stres dapat muncul jika lingkungan fisik dan rancangan secara langsung atau tidak langsung menghambat tujuan penghuni, dan jika rancangan lingkungannya membatasi strategi untuk mengatasi hambatan tersebut, maka hal itu merupakan sumber stres. Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (1989) mengajukan dua pengandaian.
Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stres dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti di tempat kerja, di lingkungan fisik, dan kondisi sosial. Stres yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah, ataupun tempat kerja. Singkatnya, terdapat banyak aspek lingkungan yang dapat menciptakan stres.

C. Hubungan Stres Terhadap Perilaku Individu
Menurut Veitch & Arkkelin (1995) stres dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran kita, sehingga kita akan bertemu dengan stresor, menjadi sadar akan bahaya, memobilisasi usaha kita untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat kita berhasil atau gagal dalam beradaptasi. Ketika suatu stresor kita evaluasi, kita seleksi strategi-strategi untuk mengatasinya, kita lakukan “pergerakan-pergerakan” tubuh secara fisiologis dan psikologis untuk melawan stresor, dan lalu mengatasinya dengan suatu tindakan. Jika coping behavior (perilaku penyesuaian diri) ini berhasil, maka adaptasi akan meningkat dan pengaruh stres akan menghilang. Sementara jika coping behavior gagal, individu merasa tidak berdaya atau tidak tahu lagi harus berbuat apa dalam menghadapi stres, maka stres akan menerus, pembangkitan fisik dan fisiologis tidak dapat dihindari sehingga penyakit fisik akan menyerang, bahkan akan timbul reaksi panik berkepanjangan yang bisa menjurus pada timbulnya gejala psikoneurosis (gangguan jiwa).
Stresor lingkungan, menurut Stokols (Brigham, 1991; dalam Prabowo 1998), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stres, penyakit, atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat. Stokols mengatakan bahwa apabila kesesakan tidak dapat diatasi, maka akan menyebabkan stres pada individu. Stres yang dialami individu dapat memberikan dampak yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menghadapi stres. Individu yang mengalami stres umumnya tidak mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, sehingga dapat menurunkan perilaku untuk membantu orang lain.
Selye mengamati serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan, ia mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stres, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS).
Jika diterapkan pada orang, maka sindrom adaptasi umum dari Selye dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut: Jika seseorang untuk pertama kali mengalami situasi penuh stres, maka mekanisme pertahanan dalam badan diaktifkan: kelanjar-kelenjar mengeluarkan atau melepaskan adrenalin, cortisone dan hormon-hormon lain dalam jumlah yang besar, perubahan-perubahan yang terkoordinasi berlangsung dalam sistem saraf pusat (tahap alarm). Jika exposure (paparan) terhadap pembangkit stres bersinambung dan badan mampu menyesuaikan, maka terjadi perlawanan terhadap sakit. Reaksi badaniah yang khas terjadi untuk menahan akibat-akibat dari pembangkit stres (tahap resistance). Tetapi jika paparan terhadap stres berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara perlahan-lahan menurun sampai menjadi tidak sesuai, dan satu dari organ-organ gagal untuk berfungsi sepatutnya. Proses pemunduran ini dapat mengarah ke penyakit dan hampir semua bagian dari badan (tahap exhaustion).
Menurut Iskandar (1990), proses terjadinya stres juga melibatkan komponen kognitif, sebagaimana diperjelas dalam gambar dibawah ini: Stres yang diakibatkan oleh kepadatan dalam ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung bertambah tinggi dan tekanan darah menaik, sebagai reaksi stimulus yang tidak diinginkan. Dengan kondisi tersebut, maka seseorang yang berusaha mengatasi situasi stres akan memasuki tahapan kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi situasi stres. Dalam berbagai kasus, stimulus yang tidak menyenangkan tersebut muncul berkali-kali, sehingga reaksi terhadap stres menjadi berkurang dan melemah. Proses ini secara psikologis dikatakan sebagai adaptasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas neuropsikologis semakin melemah dan melalui penelitian kognitif situasi stres tersebut berkurang (Iskandar, 1990).
Contoh dalam kehidupan sehari-hari:
Ketika seorang mahasiswa sedang mengalami kesulitan menyesuaikan jadwal kuliah, antara tugas dan kewajiban. Maka mahasiswa tersebut akan membuat pemikiran yang akan muncul sebagai respon dari apa yang ia hadapi. Misalnya, disaat sedang dalam kelas mahasiswa tersebut selalu memikirkan tugas-tugas dan wajiban membantu orang tua. Sehingga ia dituntut menyesuaikan prilaku dan hal-hal yang ada dipikirannya. Kemudian ia membuat jadwal dihari tertentu mengerjakan tugas-tugas dan dihari berikutnya meluangkan waktu untuk membantu orang tuanya.
Pada akhirnya mahasiswa tersebut dalam menyelesaikan masalah yang selalu mengganggu pikirannya.

Definisi Stres, Hubungan Stres dengan Psikologi Lingkungan dalam Kehidupan Sehari-hari


A. Definisi Stress
Istilah stres ditemukan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunaan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikoogis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut.
Stress adalah pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya ketidak seimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang akibat dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain (Szilagyi, 2000). Stress biasanya dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Sering dikira disebabkan oleh sesuatu yang buruk, dan disebut sebagai distress. Tetapi ada juga stress syang positif, yang disebabkan oleh sesuatu yang baik, misal dipromosikan untuk kenaikan pangkat dengan diberikan pekerjaan di tempat lain.Gibson, Ivancevich dan Donnely (1996) mendefinisikan stress sebagai suatu tanggapan penyesuaian, diperantarai oleh perbedaan- perbedaan individu dan atau proses psikologis, akibat dari setiap tindakan lingkungan, situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang. Definisi tersebut menggambarkan stress sedikit lebih negatif, sedangkan menurut pakar stress, Dr. Hans Selye,memperkenalkan stress sebagai suatu rangsangan dalam pengertian posisif,disebut sebagai Eutress. Eustress membuat individu mampu beradaptasi terhadap lingkungan dan menyebabkan terjadinya perkembangan ke arahyang lebih baik. Eutress diperlukan dalam hidup.
Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan kerena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Sedangkan menurut Korchin (1976) keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Stres tidak hanya kondisi yang menekan seseorang ataupun keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan tadi, akan tetapi stres adalah keterkaitan antara ketiganya (Prawitasari, 1989). Karena banyaknya definisi mengenai stres, maka Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu :
1. Stimulus
Keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor. Beberapa ahli yang menganut pendekatan ini mengkategorikan stresor menjadi tiga :
a.       Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado atau gempa bumi.
b.      Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai.
c.       Keadaan kronis, misalnya hidup dalam kondisi sesak atau bising.
2. Respon
Respon adalah reaksi sesorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis.
a.       Komponen psikologis, seperti perilaku, pola pikir dan emosi
b.      Komponen fisiologis, seperti detak jantung, mulut yang mongering (sariawan), keringat dan sakit perut.
Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan. 
3.  Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stesor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu hubungan antara manusia  dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antar manusia dengan lingkungan, yang didalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.

B. Jenis Stress
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
1.      Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
2.      Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
Kaitan Stres dengan Psikologi Lingkungan
Ketika tidak mengalami stres, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam keadaan seperti itu, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stres. Bahkan suatu stres terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ada waktu-waktu tertentu, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di lain pihak, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium yang bergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Hal lain yang belum dibahas adalah elemen-elemen lingkungan yang dapat mempengaruhi proses terjadinya disekuilibrium maupun ekuilibrium dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Dalam hal ini stres bisa terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stres sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya. Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan, dan seterusnya (Heimstra & McFarling, 1978).
Dalam konteks lingkungan binaan, maka stres dapat muncul jika lingkungan fisik dan rancangan secara langsung atau tidak langsung menghambat tujuan penghuni, dan jika rancangan lingkungannya membatasi strategi untuk mengatasi hambatan tersebut, maka hal itu merupakan sumber stres. Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (1989) mengajukan dua pengandaian.
Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stres dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti di tempat kerja, di lingkungan fisik, dan kondisi sosial. Stres yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah, ataupun tempat kerja. Singkatnya, terdapat banyak aspek lingkungan yang dapat menciptakan stres.

C. Pengaruh Stres Terhadap Perilaku Individu
Menurut Veitch & Arkkelin (1995) stres dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran kita, sehingga kita akan bertemu dengan stresor, menjadi sadar akan bahaya, memobilisasi usaha kita untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat kita berhasil atau gagal dalam beradaptasi. Ketika suatu stresor kita evaluasi, kita seleksi strategi-strategi untuk mengatasinya, kita lakukan “pergerakan-pergerakan” tubuh secara fisiologis dan psikologis untuk melawan stresor, dan lalu mengatasinya dengan suatu tindakan. Jika coping behavior (perilaku penyesuaian diri) ini berhasil, maka adaptasi akan meningkat dan pengaruh stres akan menghilang. Sementara jika coping behavior gagal, individu merasa tidak berdaya atau tidak tahu lagi harus berbuat apa dalam menghadapi stres, maka stres akan menerus, pembangkitan fisik dan fisiologis tidak dapat dihindari sehingga penyakit fisik akan menyerang, bahkan akan timbul reaksi panik berkepanjangan yang bisa menjurus pada timbulnya gejala psikoneurosis (gangguan jiwa).
Stresor lingkungan, menurut Stokols (Brigham, 1991; dalam Prabowo 1998), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stres, penyakit, atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat. Stokols mengatakan bahwa apabila kesesakan tidak dapat diatasi, maka akan menyebabkan stres pada individu. Stres yang dialami individu dapat memberikan dampak yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menghadapi stres. Individu yang mengalami stres umumnya tidak mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, sehingga dapat menurunkan perilaku untuk membantu orang lain.
Selye mengamati serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan, ia mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stres, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS).
Jika diterapkan pada orang, maka sindrom adaptasi umum dari Selye dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut: Jika seseorang untuk pertama kali mengalami situasi penuh stres, maka mekanisme pertahanan dalam badan diaktifkan: kelanjar-kelenjar mengeluarkan atau melepaskan adrenalin, cortisone dan hormon-hormon lain dalam jumlah yang besar, perubahan-perubahan yang terkoordinasi berlangsung dalam sistem saraf pusat (tahap alarm). Jika exposure (paparan) terhadap pembangkit stres bersinambung dan badan mampu menyesuaikan, maka terjadi perlawanan terhadap sakit. Reaksi badaniah yang khas terjadi untuk menahan akibat-akibat dari pembangkit stres (tahap resistance). Tetapi jika paparan terhadap stres berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara perlahan-lahan menurun sampai menjadi tidak sesuai, dan satu dari organ-organ gagal untuk berfungsi sepatutnya. Proses pemunduran ini dapat mengarah ke penyakit dan hampir semua bagian dari badan (tahap exhaustion).
Menurut Iskandar (1990), proses terjadinya stres juga melibatkan komponen kognitif, sebagaimana diperjelas dalam gambar dibawah ini: Stres yang diakibatkan oleh kepadatan dalam ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung bertambah tinggi dan tekanan darah menaik, sebagai reaksi stimulus yang tidak diinginkan. Dengan kondisi tersebut, maka seseorang yang berusaha mengatasi situasi stres akan memasuki tahapan kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi situasi stres. Dalam berbagai kasus, stimulus yang tidak menyenangkan tersebut muncul berkali-kali, sehingga reaksi terhadap stres menjadi berkurang dan melemah. Proses ini secara psikologis dikatakan sebagai adaptasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas neuropsikologis semakin melemah dan melalui penelitian kognitif situasi stres tersebut berkurang (Iskandar, 1990).
Contoh dalam kehidupan sehari-hari:
Ketika seorang mahasiswa sedang mengalami kesulitan menyesuaikan jadwal kuliah, antara tugas dan kewajiban. Maka mahasiswa tersebut akan membuat pemikiran yang akan muncul sebagai respon dari apa yang ia hadapi. Misalnya, disaat sedang dalam kelas mahasiswa tersebut selalu memikirkan tugas-tugas dan wajiban membantu orang tua. Sehingga ia dituntut menyesuaikan prilaku dan hal-hal yang ada dipikirannya. Kemudian ia membuat jadwal dihari tertentu mengerjakan tugas-tugas dan dihari berikutnya meluangkan waktu untuk membantu orang tuanya.
Pada akhirnya mahasiswa tersebut dalam menyelesaikan masalah yang selalu mengganggu pikirannya.

Jumat, 25 Maret 2011

KEPADATAN DAN KESESAKAN PADA LINGKUNGAN



Menurut Sudstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam unit ruang (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah manusia berada di suatu  ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan.dkk, 1978). Keadaan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas rungnya. Pembicaraan kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan adalah merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga lebih bersifat psikis (Gifford.dkk, 1978). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975).
Altman.dkk berpendapat, antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Sedangkan, kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu. Kesesakan (crowding) dan kepadatan (densitiy) merupakan fenomena yang akan menimbulkan permasalahan bagi setiap negara di dunia di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumber daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia didunia tidak terbatas.
Menurut Jain (1987) tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur-unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah pada setiap unit tempat tinggal, jumlah unit tempat tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung pada kontribusi unsur-unsur tersebut. Taylor (dalam Gifford, 1982) menyatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang disuatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula.
Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruang. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran permeter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mabel dan peralatan yang diperlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda. Besar kecil ukuran rumah menentukan besar rasio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar ruang dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil dan semakin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil rasio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak (crowding) (Ancok, 1989).
Berdasarkan penjelasan di atas. Kepadatan dan kesesakan sering kali berdampak pada kehidupan individu. Sebagai contonya kondisi kota Jakarta, semakin banyak penduduk semakin padat dan sesak suasana kota. Setiap pagi kota Jakarta selalu menjadi langganan kemacetan semakin hari semakin padat, karena semakin banyak masyarakat yang memiliki tuntutan untuk bekerja dan memiliki kendaraan padahal fasilitas angkutan umum telah disediakan seperti Bus Way. Namun kepadatan pun yang memaksa masyarakat harus memiliki kendaraan pribadi karena terkadang tidak jauh berbeda kepadatan diangkutan dengan dijalan bila menggunakan fasilitas umum.
Program KB (keluarga berencana) pun agaknya tidak berjalan efektif seperti yang telah dicanangkan pemerintah. Akibatnya, jumlah penduduk setiap harinya bertambah dengan cepat dan kebutuhan masyarakat semakin tingggi. Kepadatan dan kesesakan dapat dilihat di kehidupan sehari-hari pada lingkungan hunian keluarga. Pada satu keluarga terdapat anggota keluarga yaitu ayah, ibu, 4 orang anak, nenek dan kakek. Setiap anggota keluarga tentunya memiliki kebutuhan masing-masing sedangkan keadaan rumah tidak terlalu luas maka akan menimbulkan kesan padat dan kemudian para penghuni merasa sesak karena isi dari rumah tersebut merupakan kebutuhan dari masing-masing individu yang tinggal pada rumah itu.
Ketika indivudu merasa penat atau bosan akan situasi yang telalu padat kemungkinan  individu tersebut merasa stress yang diakibatkan kesesakan yang ia lihat pada lingkungan sekitar hunian. Bahkan sering kali suasana yang padat dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan sekitar, seperti membangun bangunan yang sebelumnya di tanami bunga-bunga bahkan kebun kecil. Hal tersebut merupakan satlah satu kerusakan lingkungan akibat kepadatan dan kesesakan.
Demikian tulisan mengenai kepadatan dan kesesakan dan di sertai gambaran para lingkungan sekitar.

Sumber :e-learning.gunadarma.ac.id






















desktop wallpaper, search engine optimization























desktop wallpaper, search engine optimization
























games free download, search engine optimization























free wallpapers, search engine optimization























webdesign, search engine optimization

Sabtu, 26 Februari 2011

Gambaran Individu dalam Suatu Lingkungan yang Menghasilkan Prilaku


Dalam prilaku individu terkadang didasari oleh beberapa alasan seperti, proses tingkah laku didasari oleh keinginan dari dalam diri individu, melalui proses belajar, dan dipengaruhi oleh proses interaksi individu disuatu lingkungan. Disaat individu mendapatkan stimulus maka akan manampakkan respon yang berbentuk perilaku, misalnya saat seseorang merasa terdesak membutuhkan sesuatu maka individu tersebut akan berusa mandapatkan apa ia butuhkan tidak perduli dengan cara apa.
            Terkadang individu kekurangan mendapatkan informasi akan apa yang akan timbul dalam suatu prilaku, jika suatu respon yang muncul tidak dapat di control maka hasilnya dapat bersifat negative, dan terkadang individu tersebut tidak dapat menentukan prilaku mana yang harus di pertahankan atau yang mana yang harus dikurangi.
            Sedikit menceritan suatu kisah yang saya alami menggambarkan prilaku individu dalam suatu lingkungan.
            Pada dasarnya setiap individu itu sendiri yang mengerti apa yang terjadi atau perubahan apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri. Namun, terkadang perubahan prilaku itu sendiri dapat berubah dari lingkungan sekitar. Saat seorang remaja sedang mencari jati dirinya, ia mencoba menentukan apa yang ia inginkan dan apa yang akan ia tunjukkan kepada lingkungannya. Pastinya ia akan mencari teman-teman yang membuatnya nyaman, entah itu harus merubah sifatnya ataupun kebiasaannya. Individu akan menerima stimulus dari orang-orang yang sedang berada disekelilingnya dan merespon kemudian memunculkannya melalui prilaku dan prilaku tersebut bisa berbentuk prilaku positif ataupun negative tergantung pada stimulus apa yang diterima oleh lingkungan sekitarnya.
            Hal tersebut pun tidak saya pungkiri. Saya merupakan salah seorang individu yang memiliki perubahan prilaku setelah bergabung pada suatu lingkungan baru. Saya termasuk orang yang amat sensitive tentang segala hal. Sampai pada akhirnya saya harus mengontrol kesensitifan saya agar tidak mengganggu orang lain ataupun menyakiti orang lain. Meskipun semua perubahan prilaku tersebut amat sulit namun pasti nantinya akan bermanfaat untuk saya. Karakter saya sebagai orang pendendam namun bukan berarti saya tidak bisa memaafkan orang lain atau saya akan membalas apa yang orang lain lakukan kepada saya. Tetapi cara saya membalas dendam hanya cukup mendoakan apa yang terbaik untuk orang yang menyakiti hati saya dan suatu saat Allah S.W.T akan membalasnya untuk saya, bukan berarti saya meminta kepada Allah untuk membalaskan dendam saya tetapi saya tidak ingin orang lain merasakan apa yang saya rasakan. Segala macam perubahan prilaku pada akhirnya nampaka, sampai pada akhirnya saya lebih diam tertutup dalam mengekspresikan emosi di raut wajah dan perbuatan, tidak bisa mencurahkan isi hati kepada orang lain karna saya takut menyakiti dan disakiti. Hal tersebut dikarenakan jika terlalu erat atau dekat pastinya tidak akan mengharapkan kehilangan, karena bagi saya sangat menyakitkan apalagi kehilangan sahabat.
            Dari cerita pribadi saya dapat di tarik kesimpulan, bahwa prilaku individu dapat berubah bergantung pada stimulus dari suatu lingkungan. Dalam suatu prilaku dapat berdampak positif ataupun negative bagi diri sendiri maupun orang lain.
            Demikianlah gambaran individu dalam suatu lingkungan yang menghasilkan prilaku. Jika ada kata-kata yang kurang berkenan atau pun tulisan saya mengganggu ataupun dalam ngenyusunan kata-kata tidak baik harap dimaklumi. Trimakasih atas waktunya telah membaca tulisan saya dan cerita pribadi saya.

Jumat, 26 November 2010

PENANGANAN BENCANA ALAM UNTUK PARA PENGUNGSI


Bumi ini sudah semakin tua, ditambah lagi dapat dikatan bahwa bumi ini sudah mengalami global worming. Seperti lapisan ozon yang sudah tak sempurna dan contoh global yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah hutan-hutan gundul dan sering terjadinya kebakaran hutan karna dampak dari global worming. Semakin bumi tidak memiliki lapisan untuk menahan lapisan surya maka dapat diketahui bumi ini akan semakin banyak menerima panas dan dapat juga menimbulkan musim-musim secara bergantian tanpa dapat di prediksi lagi. Dengan ilmu geografi, jika kutub utara dan selatan mencair maka dunia akan tenggelam.
            Dapat disimpulkan, bencana yang terjadi akhir-akhir ini bukan hanya karena sekedar bencana yang terjadi secara tiba-tiba. Melainkan bencana yang terjadi memang sudah sasatnya terjadi karena bumi sudah menerima panas yang amat sangat dan akhirnya gunung Merapi mengeluargan abu vulkanik yang sering disebut dengan “wedus gembel”, banjir bandang di Wasior, dan tsunami di Mentawai. Sebagai manusia tidak dapat menyalahkan siapa-siapa karena pada awalnya kita sebagai manusia sudah diberikan peringatan berulang-ulang dan saat ini yang dapat kita lakukan sebagai manusia hanya saling membentu untuk menghadai cobaan dari Yang Maha Kuasa dengan tolong menolong.
            Tentu, sebagai saudara setanah air, sebangsa meskipun berbeda-beda keyakinan dan budaya kita harus membantunya. Penderitaan besar dialami oleh korban yang selamat yang kehilangan orang-orang tercinta dan terkasih, kehilangan harta benda, kehilangan tempat berteduh bahkan kehilangan pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka yang kehilangan segala-galanya terkadang sulit untuk memulihkan psikis mereka setelah bencana. Maka dari itu hal yang utama selain bahan pangan, kebutuhan logistic, dan pemulihan perekonomian para korban bencana harus mendapatkan penanganan psikis terlebih dahulu. Dapat dilihat dari berita-berita televisi, media cetak, dan bahkan media elekronok seperti radio dan internet gencar memberitakan bahwa anak-anak dan lansia yang paling banyak mengalami trauma bahkan depresi.
Jika kami menjadi relawan dalam bencana, kami akan melakukan pertolongan sesuai dengan kapasitas kami dan tidak memaksakan keadaan. Kami sebagai seorang mahasiswa Psikologi yang dianggap memiliki kepekaan social lebih tinggi harus membantu memulihkan penderitaan korban-korban baik yang selamat, yang memiliki trauma-trauma dan hal-hal lain yang sedikitnya meringankan penderitaan mereka. Dalam menjadi relawan untuk membantu para korban bencan tentunya kami tidak panik. Tapi bila hal ini terjadi, kami akan menenangkan diri terlebih dahulu menghadapi para korban. Karena jika relawannya sendiri panik maka para relawan tidak akan berhasil mendapatkan kepercayaan untuk membantu mereka menghadapi cobaan yang mereka hadapi.
            Kemudian kami akan membuat tim atau regu agar lebih mudah mengkoordinir dengan tugas yang dibagi masing-masing. Ini memudahkan para korban mendapatkan penanganan psikis ataupun mendengarkan curahan para korban tanpa terlarut kedalam ceritanya. Apabiila korban meminta bantuan kepada salah satu dari kami, kami tetap akan tetap berusaha membantu meskipun itu bukan bidang yang kami kuasai. Namun setelah itu kami menyerahkan kepada orang yang lebih ahli, karena dalam regu relawan ada pastinya memiliki ketua dalam tim dan kemudian ketua tim akan memutuskan apa yang harus dilakukan. Jika korban mengalami luka-luka, maka harus dengan sigap memberikan pertolongan pertama yang pastinya didampingi oleh para medis.  
Penanganan pasca bencana terhadap lansia, awalnya dilakukan dengan cara pendekatan lewat aktivitasnya karena mayoritas para lansia sensitive dan mudah tersinggung. Kami mulai membicarakan aktivitasnya, apa saja yang ia kerjakan, sukai, yang ingin ia lakukan lalu menanyakan keluarganya. Hal-hal seperti ini, akan membuatnya berbicara selepas dan senyaman mungkin dengan kami dan agar pikiran tentang bencana tersebut perlahan-lahan dapat beliau lupakan. Jika para lansia menyukai masak memasak maka sebaik nya kami sebagai relawan mengajak mereka ikut membantu memasak didapur umum agar mereka mempunyai aktivitas.
            Penanganan pasca bencana untuk anak - anak, baik anak-anak yang duduk di bangku sekolah maupun pra-sekolah diberikan waktu untuk bermain sambil belajar. Seperti : tebak kata, ABC 5dasar, bermain kertas lipat (origami), bernyanyi, dan membuat kompetisi-kompetisi kecil dengan memberikan beberapa hadiah. Untuk waktu tertentu anak-anak yang duduk dibangku sekolah diberikan bimbingan materi pelajaran yang dipelajari. Pada hari minggu kami mengajak para pengungsi untuk berolahraga sambil bermain dengan cara membentuk kelompok seperti pesan berantai.
Hal yang perlu diutamakan bagi para korban adalah kesehatan fisiologis, rasa aman dan kesehatan psikis. Dan juga kebutuhan logistic amat sangat dibutuhkan, seperti pakaian, pakaian dalam, pembalut(wanita), bahan pangan, susu (para bayi), obat-obatan, peralatan mandi, alat untuk tidur, dan lain-lain. Selain itu kebutuhan lainnya seperti informasi dimana mereka akan mendapatkan bantuan agar kebutuhan ditempat pengungsian dapat terpenuhi. Oleh sebeb itu, sebaiknya para donator dapat mempertimbangkan kebutuhan apa yang menjadi prioritas utama untuk para pengungsi agar bantuan tidak ada yang tidak terpakai. Demikian, hal-hal yang akan kami lakukan jika kami menjadi relawan dalam menangani pengungsi bencana alam.

Penulis:                  3 PA 05
·         Asep Setiawan                        10508029
·         Anggun Prameswari 10508023
·         Chyntia Harly             10508045
·         Dessy Rabiah P.          10508053
·         Niken Pratiwi             10508153