Senin, 16 Mei 2011

Definisi Stres, Hubungan Stres dengan Psikologi Lingkungan dalam Kehidupan Sehari-hari


A. Definisi Stress
Istilah stres ditemukan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunaan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikoogis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut.
Stress adalah pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya ketidak seimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang akibat dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain (Szilagyi, 2000). Stress biasanya dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Sering dikira disebabkan oleh sesuatu yang buruk, dan disebut sebagai distress. Tetapi ada juga stress syang positif, yang disebabkan oleh sesuatu yang baik, misal dipromosikan untuk kenaikan pangkat dengan diberikan pekerjaan di tempat lain.Gibson, Ivancevich dan Donnely (1996) mendefinisikan stress sebagai suatu tanggapan penyesuaian, diperantarai oleh perbedaan- perbedaan individu dan atau proses psikologis, akibat dari setiap tindakan lingkungan, situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang. Definisi tersebut menggambarkan stress sedikit lebih negatif, sedangkan menurut pakar stress, Dr. Hans Selye,memperkenalkan stress sebagai suatu rangsangan dalam pengertian posisif,disebut sebagai Eutress. Eustress membuat individu mampu beradaptasi terhadap lingkungan dan menyebabkan terjadinya perkembangan ke arahyang lebih baik. Eutress diperlukan dalam hidup.
Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan kerena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Sedangkan menurut Korchin (1976) keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Stres tidak hanya kondisi yang menekan seseorang ataupun keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan tadi, akan tetapi stres adalah keterkaitan antara ketiganya (Prawitasari, 1989). Karena banyaknya definisi mengenai stres, maka Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu :
1. Stimulus
Keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor. Beberapa ahli yang menganut pendekatan ini mengkategorikan stresor menjadi tiga :
a.       Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado atau gempa bumi.
b.      Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai.
c.       Keadaan kronis, misalnya hidup dalam kondisi sesak atau bising.
2. Respon
Respon adalah reaksi sesorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis.
a.       Komponen psikologis, seperti perilaku, pola pikir dan emosi
b.      Komponen fisiologis, seperti detak jantung, mulut yang mongering (sariawan), keringat dan sakit perut.
Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan. 
3.  Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stesor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu hubungan antara manusia  dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antar manusia dengan lingkungan, yang didalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.

B. Jenis Stress
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
1.      Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
2.      Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
Kaitan Stres dengan Psikologi Lingkungan
Ketika tidak mengalami stres, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam keadaan seperti itu, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stres. Bahkan suatu stres terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ada waktu-waktu tertentu, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di lain pihak, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium yang bergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Hal lain yang belum dibahas adalah elemen-elemen lingkungan yang dapat mempengaruhi proses terjadinya disekuilibrium maupun ekuilibrium dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Dalam hal ini stres bisa terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stres sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya. Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan, dan seterusnya (Heimstra & McFarling, 1978).
Dalam konteks lingkungan binaan, maka stres dapat muncul jika lingkungan fisik dan rancangan secara langsung atau tidak langsung menghambat tujuan penghuni, dan jika rancangan lingkungannya membatasi strategi untuk mengatasi hambatan tersebut, maka hal itu merupakan sumber stres. Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (1989) mengajukan dua pengandaian.
Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stres dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti di tempat kerja, di lingkungan fisik, dan kondisi sosial. Stres yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah, ataupun tempat kerja. Singkatnya, terdapat banyak aspek lingkungan yang dapat menciptakan stres.

C. Pengaruh Stres Terhadap Perilaku Individu
Menurut Veitch & Arkkelin (1995) stres dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran kita, sehingga kita akan bertemu dengan stresor, menjadi sadar akan bahaya, memobilisasi usaha kita untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat kita berhasil atau gagal dalam beradaptasi. Ketika suatu stresor kita evaluasi, kita seleksi strategi-strategi untuk mengatasinya, kita lakukan “pergerakan-pergerakan” tubuh secara fisiologis dan psikologis untuk melawan stresor, dan lalu mengatasinya dengan suatu tindakan. Jika coping behavior (perilaku penyesuaian diri) ini berhasil, maka adaptasi akan meningkat dan pengaruh stres akan menghilang. Sementara jika coping behavior gagal, individu merasa tidak berdaya atau tidak tahu lagi harus berbuat apa dalam menghadapi stres, maka stres akan menerus, pembangkitan fisik dan fisiologis tidak dapat dihindari sehingga penyakit fisik akan menyerang, bahkan akan timbul reaksi panik berkepanjangan yang bisa menjurus pada timbulnya gejala psikoneurosis (gangguan jiwa).
Stresor lingkungan, menurut Stokols (Brigham, 1991; dalam Prabowo 1998), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stres, penyakit, atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat. Stokols mengatakan bahwa apabila kesesakan tidak dapat diatasi, maka akan menyebabkan stres pada individu. Stres yang dialami individu dapat memberikan dampak yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menghadapi stres. Individu yang mengalami stres umumnya tidak mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, sehingga dapat menurunkan perilaku untuk membantu orang lain.
Selye mengamati serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan, ia mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stres, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS).
Jika diterapkan pada orang, maka sindrom adaptasi umum dari Selye dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut: Jika seseorang untuk pertama kali mengalami situasi penuh stres, maka mekanisme pertahanan dalam badan diaktifkan: kelanjar-kelenjar mengeluarkan atau melepaskan adrenalin, cortisone dan hormon-hormon lain dalam jumlah yang besar, perubahan-perubahan yang terkoordinasi berlangsung dalam sistem saraf pusat (tahap alarm). Jika exposure (paparan) terhadap pembangkit stres bersinambung dan badan mampu menyesuaikan, maka terjadi perlawanan terhadap sakit. Reaksi badaniah yang khas terjadi untuk menahan akibat-akibat dari pembangkit stres (tahap resistance). Tetapi jika paparan terhadap stres berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara perlahan-lahan menurun sampai menjadi tidak sesuai, dan satu dari organ-organ gagal untuk berfungsi sepatutnya. Proses pemunduran ini dapat mengarah ke penyakit dan hampir semua bagian dari badan (tahap exhaustion).
Menurut Iskandar (1990), proses terjadinya stres juga melibatkan komponen kognitif, sebagaimana diperjelas dalam gambar dibawah ini: Stres yang diakibatkan oleh kepadatan dalam ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung bertambah tinggi dan tekanan darah menaik, sebagai reaksi stimulus yang tidak diinginkan. Dengan kondisi tersebut, maka seseorang yang berusaha mengatasi situasi stres akan memasuki tahapan kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi situasi stres. Dalam berbagai kasus, stimulus yang tidak menyenangkan tersebut muncul berkali-kali, sehingga reaksi terhadap stres menjadi berkurang dan melemah. Proses ini secara psikologis dikatakan sebagai adaptasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas neuropsikologis semakin melemah dan melalui penelitian kognitif situasi stres tersebut berkurang (Iskandar, 1990).
Contoh dalam kehidupan sehari-hari:
Ketika seorang mahasiswa sedang mengalami kesulitan menyesuaikan jadwal kuliah, antara tugas dan kewajiban. Maka mahasiswa tersebut akan membuat pemikiran yang akan muncul sebagai respon dari apa yang ia hadapi. Misalnya, disaat sedang dalam kelas mahasiswa tersebut selalu memikirkan tugas-tugas dan wajiban membantu orang tua. Sehingga ia dituntut menyesuaikan prilaku dan hal-hal yang ada dipikirannya. Kemudian ia membuat jadwal dihari tertentu mengerjakan tugas-tugas dan dihari berikutnya meluangkan waktu untuk membantu orang tuanya.
Pada akhirnya mahasiswa tersebut dalam menyelesaikan masalah yang selalu mengganggu pikirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar