Sabtu, 30 Oktober 2010

Makalah:PSIKOLOGI KELOMPOK KONFLIK (SUPORTER SEPAKBOLA)


TUGAS MATA KULIAH
PSIKOLOGI KELOMPOK

KONFLIK (SUPORTER SEPAKBOLA)


Disusun oleh :
3 PA 05


Anggun Prameswari             10508023
Asep Setiawan                      10508029
Chyntia Harli                        10508045
Dessy Rabiah .P                   10508053
Niken Pratiwi                       10508153






FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
KALIMALANG




KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr.Wb.
            Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia serta kuasanya tugas makalah mata kuliah Psikologi Kelompok telah terselesaikan.
            Tugas makalah ini yang bertema …. Teori- teori yang di susun berdasarkan konflik yang terjadi pada sutu kelompok dan bentuk agresivitasnya.Ditambahkan dengan jurnal-jurnal.
            Kami menyadari banyak kekurangan dalam penulisan maupun materi makalah ini. Untuk itu kami mohon maaf atas segala kekurangan karena keterbatasan kami dan kami mengharapkan adanya kritik dan serta saran untuk memberikan kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca mahasiswa Psikologi khususnya dan semua pihak.




Bekasi, Oktober 2010



Tim Penulis










ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………….………………..…..........                 i
DAFTAR ISI……………………………………………….…..………....                ii
BAB  I PENDAHULUAN…………………………………….….………                 1
1.      LATAR BELAKANG………………….....................………..                 1
2.      PERUMUSAN MASALAH…………....................………….                 1
3.      TUJUAN………………………….....................……………..                2
4.      MANFAAT……………………..............................…………..                2
BAB II PEMBAHASAN .……………………...…….….......……………               3          2.1            KONFLIK………...........................................................................               3
            2.2       AGRESIVITAS…………………………………………………..                 8
            2.3       PEMBAHASAN JURNAL………………….….........…..…....…                  12

BAB III            PENUTUP……………………………………....……...…                20
            3.1       KESIMPULAN…………………....….........................…..                20

DAFTAR PUSTAKA………………………………….........……....…….                21








          ii



BAB I

PENDAHULUAN


2.      LATAR BELAKANG
Pakar psikologi sosial antara lain: Cattel, Bennis dan Sheppard, Schutz (Sarwono, 2005) menempatkan penelitian dan pembahasan tentang perilaku kelompok dalam prioritas yang cukup tinggi. Keterpaduan kelompok (group cohesiveness) diterangkan oleh berbagai teori. Sebagian tidak berdasarkan eksperimen seperti diusung Le Bon, Mc Dougall, dan Bion, sebagian lagi berdasarkan eksperimen seperti yang diusung oleh Festinger dan Lott dan Lott.
Menurut Mc Dougal (dalam Sarwono, 2005) kohesivitas kelompok dipengaruhi oleh faktor-faktor, antara lain kelangsungan keberadaan kelompok (berlanjut untuk waktu yang lama) dalam arti keanggotaan dan peran setiap anggota, adanya tradisi dan kebiasaan, ada organisasi dalam kelompok (ada deferensiasi dan spesialisasi fungsi), dan kesadaran diri kelompok (setiap anggota tahu siapa saja yang termasuk kelompok, bagaimana caranya ia berfungsi dalam kelompok, bagaimana struktur dalam kelompok), pengetahuan tentang kelompok, keterikatan (attachment) kepada kelompok.
Menurut Festinger (dalam Sarwono, 2005) keterpaduan kelompok diawali oleh ketertarikan terhadap kelompok dan anggota kelompok dan dilanjutkan dengan interaksi sosial dan tujuan-tujuan pribadi yang menuntut adanya saling ketergantungan. Pada gilirannya kekuatan-kekuatan di lapangan itu akan menimbulkan perilaku kelompok yang berupa kesinambungan keanggotaan dan penyesuaian terhadap standar kelompok, misalnya kelompok suporter tim sepak bola yang tetap konsisten dengan standar kelompoknya untuk memberikan dukungan terhadap tim tersebut.

3.       RUMUSAN MASALAH
          Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan masalahnya adalah apakah ada hubungan antara konformitas terhadap fanatisme pada supporter tim sepak bola yang menimbulkan agresifitas?.
1
4.       TUJUAN
          Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah agar dapat mengerti lebih jauh masalah dalam suatu kelompok.
5.       MANFAAT
Makalah ini diharapkan mampu memberikan manfaat yang positif yaitu dapat menambah wawasan yang lebih mendalam tentang agresivitas dalam suatu kelompok.
























2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONFLIK
            A. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Konflik Menurut Robbin (1996) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:

3
1.     Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang- orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2.     Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3.     Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.

B. Faktor Penyebab Konflik
·        Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu
4
sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
·        Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
·        Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politikekonomisosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

5
·        Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

C. Jenis-Jenis Konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
·        konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
·        konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
·        konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
·        konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
·        konflik antar atau tidak antar agama
·        konflik antar politik.

6
D. Akibat Konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
·        meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
·        keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
·        perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
·        kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
·        dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
·        Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
·        Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
·        Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
·        Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.




7
2.2 AGRESIVITAS
            A. Pengertian Agresivitas
Agresivitas adalah istilah umum yang dikaitkan dengan adanya perasaan marah permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan fisik,

verbal, maupun menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Tindakan agresi merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan tertentu. Heri Widodo (Anantasari, 2006) perilaku agresif pada anak agaknya cukup meresahkan apalagi bila kita melihat dari akibat yang mungkin ditimbulkannya. Orang tua hendaknya lebih bijak untuk melihatnya dalam perspektif yang lebih lengkap dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian akan dapat dilakukan langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi anak dengan perilaku agresifnya.
Perilaku agresif lebih menekan pada suatu yang bertujuan untuk menyakiti orang lain dan secara sosial tidak dapat diterima. Ada dua utama agresi yang saling bertentangan yakni untuk membela diri dan di pihak lain adalah untuk meraih keuntungan dengan cara membuat lawan tidak berdaya. Istilah kekerasan (violence) dan agresif (agresion) memiliki makna yang hampir sama, sehingga sering kali dipertukarkan. Perilaku - perilaku agresif selalu dipersepsi sebagai kekerasan terhadap pihak yang dikenai perilaku tersebut. Pada dasarnya perilaku agresif pada manusia adalah tindakan yang bersifat kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Menurut Sadorki dan Sadock (2003) bahaya atau pencederaan yang diakibatkan oleh perilaku agresif bisa berupa pencederaan fisikal, namun pula bisa berupa pencederaan non fisikal atau semisal yang terjadi akibat agresi verbal (Anantasari, 2006). Dampak buruk bagi korban perilaku agresif ;
(1) perasaan tidak berdaya,
(2) kemarahan setelah menjadi korban perilaku agresif,
(3) perasaan bahwa dirinya sendiri mengalami kerusakan permanent,
(4) ketidakmampuan mempercayai orang lain,
(5) terpaku pada tindakan agresif atau kriminal,
(6) hilangnya keyakinan bahwa dunia bisa berada dalam tatanan yang adil.


8
B. Jenis-jenis Agresivitas
Perilaku agresif ditujukan pada orang lain yang bertujuan untuk menyakiti dan merugikan orang lain. Agresivitas dilakukan secara fisik dan secara verbal. Fisik yakni mendorong, memukul, menggigit, menggoda, membantah, dan memperolok - olok.  Buss dan Perry (Rita, 1992) menambahkan dua bentuk agresivitas, yakni kemarahan dan kebencian. Agresi umumnya terjadi adalah Hostile Aggression yaitu agresi yang ditujukan kepada orang lain akibat kesal atau marah kepada seseorang. Sikap agresif dominasi terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, Hal ini berkaitan erat dengan pandangan anak laki-laki tidak boleh cengeng atau menangis.Merasa pelampiasannya dibatasi maka anak laki-laki mengalihkan dengan perilaku agresif. Sasaran perilaku agresif ini adalah pendidik atau teman,serta sasaran fisik. Bentuk-bentuk agresivitas ini perlu dicermati pada anak sejak usia ini karena secara potensial dapat menjadi pemicu timbulnya permasalahan perilaku pada tahap selanjutnya.

C. Penyebab Tingkah Laku Agresif
Agresi adalah bagian normal dalam perkembangan anak yang belajar berjalan. Selama masa tersebut keterampilan berbahasa anak belum berkembang baik. Bila mereka berniat melakukan tindakan secara fisik, mereka belum memliki kendali diri untuk memehami bahwa ia harus menghindari perbuatan yang mereka lakukan. (sering kali anak merasa ingin mencekik atau memukul, anak tahu bahwa orang beradab tidak boleh melakukan hal itu akan tetapi anak tidak menghiraukannya (Kate, 2005).
Penyebab perilaku agresif digolongkan dalam beberapa factor yakni :
1. Faktor Biologis
a. Sistem Otak
Para peneliti yang menyelidiki kaitan antara cedera kepala dan perilaku kekerasan mengidentifikasikan betapa kombinasi pencederaan fisikal yang pernah dialami. Cedera kepala mungkin ikut melandasi perilaku agresif. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau memperlambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang


9

yang pernah mengalami kesenangan, kegembiraan cenderung untuk melakukan kekejaman atau penghancuran. Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurangnya rangsangan sewaktu bayi.
b. Gen
Merupakan faktor yang tampaknya berpengaruh pada ditemukan pada faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresif (Rita, 2005).

2. Faktor Lingkungan
a. Kemiskinan
Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresif mereka secara alami mengalami perbuatan (Byod Mc Cendles dalam Davidoff). Hal ini dapat dilihat dan dialami dalam kehidupan sehari-hari apalagi di kota-kota besar, dalam antrian lampu merah, perempatan jalan. Model agresi modeling sering kali diadopsi anak-anak sebagai model pertahanan diri dan pertahanan hidup.
b. Anonimitas
Terlalu banyak rangsangan indra kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal artinya antara satu orang dengan orang yang lain tidak saling mengenal. Setiap individu menjadi anonim tidak mempunyai identitas. Bila seorang mempunyai anonim ia cenderung berperilaku menyendiri.
c. Suhu Udara Panas
Pengaruh polusi udara, kebisingan dan kesesakan karena kondisi manusia yang terlalu berjejal. Kondisi-kondisi itu bisa melandasi perilaku agresif (Rita, 2005)

3. Faktor Psikologis
a. Perilaku Naluriah
Menurut Sigmund Freud, dalam diri manusia ada naluri kematian yang ia sebut pula thanatos yaitu energi yang tertuju untuk perusakan. Agresi terutama berakar dalam naluri kematian yang diarahkan bukan ke dalam diri sendiri melainkan diarahkan pada orang lain.



10
b. Perilaku Yang Dipelajari
Menurut Albert Bandura perilaku agresif berakar dalam respons-respons yang dipelajari manusia lewat pengalamanpengalaman di masa lampau (Anantasari, 2006).

4. Faktor Sosial
a. Reaksi Emosi Terhadap Frustasi
Tidak diragukan lagi pengaruh frustasi dalam peryakan perilaku agresif. John Dollad berpendapat frustasi bias mengakari agresif. Kendati demikian tidak setiap anak yang mengalami frustasi seta merupakan agresi. Agresivitas muncul akibat banyaknya larangan yang diperbuat guru dan orang tua. (Rosmala, 2005).
b. Provokasi Langsung
Pencederaan fiskal dan ejekan verbal dari orang-orang lain bisa memicu perilaku agresif. Perilaku ini biasanya dilakukan karena anak kurang mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekelilingnya dan anak akan terus akan mencari perhatian. Orang tua anak yang agresif biasanya mempunyai gejolak emosi yang buruk dan situasi emosional perkawinan sebagai reaksi dari penolakan. Akibatnya anak melakukan agresi sebagai reaksi dari penolakan oleh orang tua.
c. Peniruan (Modeling)
Semua perilaku tidak terkecuali agresif lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Peniruan tidak dilakukan pada semua orang tetapi terhadap figur tertentu seperti ayah, ibu, kakak, atau teman bermainnya yang memiliki perilaku agresif. Orang tua sering bertengkar menyebabkan anak juga akan sering bertengkar. Terdapat kaitan antara agresi dan paparan tontonan kekerasan lewat televisi. Semakin banyak anak menonton kekerasan lewat televisi, maka tingkatan agresi anak terhadap orang lain bisa meningkat pula. Ternyata pengaruh tontonan kekerasan lewat televisi bersifat komulatif artinya makin panjang paparan tontonan kekerasan semakin meningkat pula perilaku agresinya.
Aletha Stein (Davidoff, 1991) mengemukakan bahwa anak yang memiliki kadar agresi di atas normal akan lebih cenderung berlaku agresif. Maka setelah menyaksikan adegan kekerasan ia akan bertindak seperti terhadap orang lain. (Anantasari, 2006).


11

5. Faktor Situasional
Termasuk dalam faktor ini antara lai adalah rasa sakit, terluka yang dialami anak. Perasaan anak yang terluka entah karena rasa kesal, marah, kecewa, sedih dan ia tidak tahu bagaimana cara semestinya untuk mengungkapkan perasaan-perasaan itu, maka ia melampiaskan dengan perilaku agresif. (Anantasari, 2006).

D. Karakteristik Perilaku Agresif (Anantasari, 2006)
Individu yang sering mengalami perilaku yang menyimpang atau perilaku agresifnya biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menyakiti/merusak diri sendiri, orang lain. Perilaku agresif termasuk yang dilakukan individu hampir pasti menimbulkan adanya bahaya berupa kesakitan yang dapat dialami oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang lain.
2.      Tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasarannya. Perilaku agresif, terutama agresi yang keluar pada umumnya juga memiliki sebuah ciri yaitu tidak diinginkan oleh organisme yang menjadi sasarannya.
3.      Seringkali merupakan perilaku yang melanggar norma sosial.Perilaku agresif pada umumnya selalu dikaitkan dengan pelanggaran terhadap norma sosial.


2.3 PEMBAHASAN JURNAL
Theodore Caplov (dalam Sarwono, 2005) membagi kelompok kecil menjadi dua jenis berdasarkan ukurannya antara lain, kelompok primer dan non-primer. Kelompok primer adalah kelompok yang jumlah anggotanya 2-20 orang dan tiap anggota berinteraksi dengan setiap anggota lainnya dalam kelompok (keluarga, sahabat). Sedangkan, kelompok non-primer adalah kelompok yang jumlah anggotanya 3-30 orang dan interaksi antar anggotanya tidak seintensif pada kelompok primer (teman sekelas, kelompok arisan, panitia kecil). Aristoteles (dalam Budiyanto, 2004) mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon atau makhluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Status makhluk social melekat pada diri setiap individu. Ia tidak dapat bertahan hidup secara utuh hanya dengan mengandalkan dirinya sendiri saja. Sejak lahir sampai meninggal dunia manusia memerlukan bantuan atau kerja sama dengan orang lain.

12
Dalam ilmu-ilmu sosial seperti Ekonomi, Hukum, Sosiologi, dan sebagainya, termasuk juga Psikologi Sosial, sering memasukkan istilah-istilah seperti kelompok umur, kelompok urban, kaum imigran, generasi muda, golongan menengah, dan sebagainya. Istilah-istilah itu bermaksud untuk menggambarkan satu kumpulan (agregat) manusia dengan ciri-ciri tertentu walaupun individu-individu manusia anggota kumpulan itu sama sekali belum pernah saling berhubungan, dan sebagaimana kita ketahui tidak setiap kumpulan orang dapat dipertimbangkan sebagai kelompok.
Pengertian kelompok berbeda dengan pengertian agregat. Agregat lebih menunjuk pada kumpulan individu yang tidak berinteraksi satu sama lain namun bagaimanapun juga dapat terjadi bahwa suatu agregat dapat berubah menjadi sebuah kelompok (Sarwono, 2005). Menurut Johnson (Sarwono, 2005) kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mancapai tujuan bersama.
Bebearapa ahli psikologi sosial seperti Durkheim dan Warriner berpandangan bahwa kelompok merupakan sesuatu yang riil yang dapat diperlakukan sebagai objek di dalam lingkungan kita (dalam Sarwono, 2005). Sejalan dengan pandangan ini, adalah pandangan yang mendukung bahwa perilaku sosial lebih dapat dijelaskan dengan menekankan keunikan proses-proses kelompok daripada dijelaskan dalam tingkat individu. Dengan demikian, sebuah kelompok itu lebih dari sekedar berkumpulnya secara kebetulan orang-orang yang bersama-sama berbagi ide. Sebagai contoh, sebuah kerusuhan yang muncul setelah selesainya suatu pertandingan olah raga. Interaksi sosial semacam ini hanya dapat dipahami dengan menganalisa perilaku dalam tingkat kelompok, sebagai kebalikan dari tingkat individual. Tajfel (dalam Sarwono, 2005) mendukung analisa perilaku kelompok, dan berpandangan bahwa untuk perilaku sosial perlu mempertimbangkan kelompok sebagai entitas sederhana yang nyata, karena keanggotaan dalam kelompok merupakan bagian integral dari konsep diri (self-concept).



13

Analisa perilaku kekerasan penonton sepak bola di luar dan di dalam negeri:
1.      Peristiwa perkelahian antarpenonton ada pertama sekali tahun 1980-an pada Liga SepakBola Indonesia yang dalam pertandingan ini diikuti oleh kesebelasan kota-kota besar di Indonesia dan hal ini yang mengundang para fanatic dari tiap kesebelasan datang untuk memberi dukungan dalam jumlah yang besar.
2.      Para penonton tidak hanya menyukai tim kesebelasannya, namun menyukai pemain dari tim tersebut. Seperti yang telah diketahui adanya terbentuk ‘fans’ Persija yang bernama ‘The Jak’, Persib ‘Viking’, Panser Biru ‘Bobotoh’, dll. Tidak disangka bahwa pembentukan fans klub dari tiap tim ini menyebabkan perselisihan seperti : The Jak dan Viking yang telah terjadi distadium Cimahi, Jawa Barat; stadion Benteng  Tangerang, kemudian di stadion Gelora Bung Karno yang menyebabkan banyak korban tewas dan luka-luka serta membuat jalan raya menjadi terhambat karena massa diantara kedua tim yang cukup besar.
3.      Kekerasan dianggap suatu ancaman bagi masyarakat karena menyangkut dengan ancaman dan mengubah pola hubungan yang ada di masyarakat.
4.      Ditarik kesimpulan pendapat dari Neal, Syneder dan Spreitzer mengatakan bahwa kekerasan merupakan ancaman dan meyebabkan ketakutan. Dan dalam olahraga, kekerasan yang terjadi dapat melanggar aturan olahraga itu sendiri.
5.      Negara-negara di Benua Eropa banyak melahirkan para pemain dan tim sepakbola yang professional dan banyak menggelar acara pertandingan internasional yang banyak melibatkan pemain kelas dunia untuk bermain di liga eropa serta disaksikan oleh ribuan penonton.
6.      Dalam liga eropa sering terjadi kerusuhan dalam pertandingan, terutama di Negara inggris. Inggris mempunyai catatan sejarah terpanjang dengan kerusuhan yang terjadi. Peristiwa yang paling dramatis di Stadion Heysel Brussel Belgia yang menewaskan 39 orang dari Negara Italia, kejadian tersebut telah diketahui dari seluruh dunia.
7.      Kerumunan penonton olahraga awalnya memperlihatkan gejolak dan reaksinya dengan proses yang disebut milling, yakni proses dimana individu

14
menjadi tegang, takut, dan menjadi gairah dan semakin meningkat dapat membuat bertindak impulsive di bawah pengaruh impuls bersama. Gejolak dan reaksi yang semakin meningkat dapat mempengaruhi orang sekitar dan dapat menyebabkan kerusuhan.
8.      Contagion Teori berguna untuk meneliti perilaku penonton dan menegaskan bahwa individu-individu penonton telah berubah menjadi individu yang sukar untuk di control setelah dijangkiti oleh penularan social. Sedangkan convergen teori adalah kerumunan penonton terdiri dari  kelompok orang-orang yang datang dengan kemauan sendiri  dan berkumpul bersama-sama dan menunjukan sifat kebersamaan.
9.      Perbedaannya : liga pertandingan di Negara-negara Eropa sering terjadi kerusuhan yang menewaskan penonton yang bukan hanya berasal dari Negara inggris melainkan penonton dari luar Negara inggris , dan banyak disaksikan seluruh dunia. Di salah satu Negara di Eropa terdapat julukan BLACK WEDNESDAY dikarenakan pada hari itu bertepatan dengan rusuhnya di stadion Italia yang menewaskan puluhan penonton yang berada di tempat.
10.  Di Indonesia, kerusuhan dalam pertandingan olahraga sepakbola jarang terjadi sesuatu yang berujung kematian.
11.  Kebanyakan para penonton sepakbola merupakan sekelompok orang-orang yang fanatic terhadap tim sepakbola yang didukungnya. Orang-orang ini sering menggunakan atribut kesayangannya, seperti mempunyai foto idolanya, selalu membeli tiket untuk menyaksikan kesebelasan kesayangannya dimanapun bertandingan. Bahkan para penonton ini rela melakukan tindak apa saja demi tim kesayangannya. Tindakan-tindakan tersebut misalya: berkelahi dengan para penonton pendukung kesebelasan lain, mencemooh atau melempar wasit yang dianggap berat sebelah memihak lawan dan bahkan rela melawan pihak keamanan.




19
BAB III
PENUTUP

                   3.1 KESIMPULAN
Suporter sebuah tim adalah salah satu faktor pendukung yang tidak bisa dilepaskan dari sisi luar lapangan pertandingan. Bahkan keberadaan supporter ini sendiri mampu memberikan dukungan moral yang cukup besar bagi para pemainnya. Gemuruh suara para supporter ketika pertandingan seringkali terdengar sebelum hingga pertandingan berakhir, bahkan dukungan pun terus diberikan oleh para supporter yang tidak dapat menyaksikan pertandingan secara langsung. Inilah mengapa dukungan supporter menjadi hal yang sangat penting bagi semangat para pemain. Sepak bola adalah permainan yang sangat lekat dengan masyarakat Indonesia. Olah raga ini digemari oleh berbagai kalangan masyarakat, terlepas dari faktor umur, jenis kelamin, dan status sosial di masyarakat.
Menurut McDougall (dalam Sarwono, 2005) kohesivitas dalam kelompok dapat dipengaruhi oleh kelangsungan keberadaan kelompok (berlanjut dalam waktu yang lama) dalam arti keanggotaan dan peran setiap anggota, adanya tradisi kebiasaan dan adat, ada organisasi dalam kelompok, kesadaran diri kelompok (setiap anggota tahu siapa saja yang termasuk dalam kelompok, bagaimana caranya ia berfungsi dalam kelompok, bagaimana struktur dalam kelompok, dan sebagainya), pengetahuan tentang kelompok, keterikatan (attachment) kepada kelompok.












20
DAFTAR PUSTAKA


Bilal, dkk.  2005. Aggressiveness Behaviours of Soccer Spectators and Prevention of these Behaviours. University of Firat. The Online Journal of Social Science.

Kirchler Zani. 1991. When Violence Overshadows of the Spirit of Sporting Competition: Italian Football Fans and their Clubs. University of Bologna. The Online Journal Community and Applied Social Psychology.

Sunaryadi,dkk. 2010. Analisis Perilaku Kekerasan Penonton Sepak Bola. Bandung. Jurnal Psychology.

Walgito, B. (2007). Psikologi kelompok. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Wicaksono, B. 2010. Kohesivitas Suporter Tim Sepak Bola Persija. Universitas Gunadarma.The Online Journal of Psychology.











21

Jumat, 08 Oktober 2010

Pramuka SMPN 7 Bekasi


Pada dasarnya manusia hidup saling ketergantungan. Mereka selalu saling menguntungkan, sama halnya dengan berorganisasi karena dalam berorganisasi kita selalu berinteraksi dengan banyak orang dan bisa belajar dari orang lain. Menurut McDavid & Harari (1968) Psikologi Sosial adalah studi ilmiah tentang pengalaman dan perilaku individual yang berkaitan dengan individu lain, kelompok, dan kebudayaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh perilaku indivudu dapat berstimulus dari interaksi sosial.

Banyak keuntungan jika seseorang sering mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat atau pun kegiatan yang berbau sosial. Interaksi sosial banyak di jumpai pada kumpulan kelompok, seperti ibu-ibu arisan, ekstra kulikuler disekolah, pengajian (rohis), dan masih banyak lagi. Kegiatan berkelompok jika di mulai pada masa kanak- kanak dapat membantu individu dalam mengembangkan diri.

Contoh atau tema yang saya bahas adalah interaksi kelompok pada Anak Pramuka, yang kebetulan saya juga terjun ke dalamnya. Saya mengikuti ekstra kulikuler pramuka saat saya duduk di bangku SMP (SMPN 7 Bekasi). Banyak hal yang saya dapat setelah bertemu dengan bermacam-macam orang di sana, bukan hanya itu dari ekstra kulikuler ini pun saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi anggota osis, mewakili sekolah untuk lomba (bersama teman regu), dan masih banyak lagi kesempatan dan ilmu yang di dapat.

Mungkin di atas adalah sepenggalan cerita atau pengalaman yang saya dapat dengan mengikuti kegiatan di suatu kelompok. Dan dalam tulisan kali ini saya akan menceritakan kebersamaan dan banyak hal tentang perkumpulan kami yang kami beri nama RAKARAFATI.

SEJARAH
Awal terbentuk suatu ekstra kulikuler biasanya berada di sekolah-sekolah yang digunakan untuk mengisi waktu para siswa/i untuk berkreasi. Namun, bukan hanya itu para siswa/i sering kali mencari ekstra kulikuler (ekskul) yang menjadi favorit di sekolahnya. Demikian juga dengan kami, banyak di antara kami memilih ekskul pramuka karna menjadi unggulan dan pusat perhatian orang banyak. Seperti pengalaman saya, saat pertama kali melilhat atraksi MOS (Masa Orientasi Siswa) ekskul pramuka saya amat terpukau, begitu mendengar macam-macam penghargaan yang di raihnya membuat saya semakin ingin mengikutinya.

Banyak cerita membanggakan yang di dengar dari ekskul pramuka, namun lebih sering kami mendapatkan cerita dari angkatan 4. Kami sebagai anggota, tidak dapat cerita atau keterangan secara rinci tentang terbentuknya perkumpulan kami jadi kami hanya mendapatkan sumber dari berbagai angkatan. Dalam pramuka kami menyebut perangkatan dan ada regu masing-masing. Seperti saya Regu Cempaka # 13 (lambang # adalah simbol dari angkatan), dan regu unggulan atau reguinti kami adalah Rajawali (regu laki-laki) dan Cempaka (regu perempuan). Sedangkan regu Falcon adalah junior dari Rajawali dan Mawar junior dari Cempaka, dan pada akhirnya kami juga memiliki kumpulan untuk para alumni yang bernama RAKARAFATI kepanjangan dari RAJAWALI CEMPAKA dan RADEN FATHA CUT MUTIA.

Pramuka SMPN 07 Bekasi memiliki sekertariat sendiri. Disanalah para anggota dan alumni berkumpul, bahkan memiliki jadwal tersendiri untuk membersihkan sekertariat yang dianggap berguna melatih tanggung jawab dan uang kas per-regu untuk memenuhi kebutuhan regu individu. Kebutuhan yang biasanya memerlukan uang kas seperti membeli bendera regu dari pinru (pemimpin regu) sampai anggotanya 9 orang, tongkat pramuka yang setiap regu memiliki corak tersendiri dan makna tersendiri, sabuk tongkat untuk menemudahkan membawa tongkat, perlengkapan lomba seperti alat P3k (bidai, mitela, obat-obatan), tambang pramuka, dan masih banyak lagi. Bahkan kami selalu berkumpul bersama untuk menunjukkan atraksi atau kreasi regu inti kami sewaktu intirahat atau sepulang sekolah. Saat seseorang yang terpilih sebagai regu inti pasti mereka merasakan sesuatu atau energi yang lebih, karena saat mereka menunjukan kreasi di tengah lapangan mereka serasa bintang sekolah yang selalu di pandang setiap mata, bahkan sering kali para siswa/i menanti-nanti kami untuk berlatih.

Dari sana lah pramuka SMPN 07 Bekasi mulai di segani oleh sekolah-sekolah lain. Mungkin banyak yang tertarik tau berminat bahkan pada zamannya mereka berlomba-lomba untuk masuk regu inti terfavotit.

PENGHARGAAN
Jika di sebutkan penghargaan dari angkatan 1 sampai angkatan 19 mungkin tidak dapat di ingat. Namun ada beberapa penghargaan yang sangat berkesan dan penuh kenangan. Seperti saat lomba di SMPN 12 Bekasi (tahun tak ingat) kami mendapatkan TOP 1 (juara umum), Juara SE-JAWA BARAT (kami sering membanggakan PENGUASA JAWA BARAT, lupa tahun), dan masih banyak lagi juara-juara 1 sampau juara umum lainnya. Bukan hanya dalam segi penghargaan sebagian atau hampir seluruh anak pramuka mendapatkan penghargaan dari sekolah untuk menjadi perwakilan anggota osis dan kami kaya akan berbagai pengalaman yang tak terlupakan. Keuntungan dari organisasi akan terasa saat kita dewasa.

Bahkan banyak diantara mereka yang lulus dari SMPN 07 Bekasi sebagai anggota pramuka sering kali di libatkan dalam organisasi di SMA mereka. Mereka dianggap berpengalaman dan mampu membantu SMAnya untuk lebih maju dalam bidang ekstra kulikuler. Ada juga para alumni yang meneruskan kemampuannya menjadi pembina pramuka atau pelatih di SD, dan ada juga mereka bisa keluar negeri berkat pengalamannya.

Demikian lah kehidupan atau serba-serbi dalam suatu kelompok. Lebih baik mencoba dari pada tidak sama sekali.